Cerita ini adalah kisah
nyata… dimana perjalanan
hidup ini ditulis oleh
seorang istri dalam sebuah
laptopnya. Bacalah, semoga kisah
nyata ini menjadi pelajaran
bagi kita semua. *** Cinta itu butuh kesabaran… Sampai dimanakah kita
harus bersabar menanti
cinta kita??? Hari itu.. aku dengannya
berkomitmen untuk
menjaga cinta kita... Aku menjadi perempuan yg
paling bahagia... Pernikahan kami sederhana
namun meriah... Ia menjadi pria yang sangat
romantis pada waktu itu. Aku bersyukur menikah
dengan seorang pria yang
shaleh, pintar, tampan &
mapan pula. Ketika kami berpacaran dia
sudah sukses dalam
karirnya. Kami akan berbulan madu
di tanah suci, itu janjinya
ketika kami berpacaran
dulu... Dan setelah menikah, aku
mengajaknya untuk umroh
ke tanah suci... Aku sangat bahagia
dengannya, dan dianya
juga sangat memanjakan
aku… sangat terlihat dari
rasa cinta dan rasa
sayangnya pada ku. Banyak orang yang bilang
kami adalah pasangan yang
serasi. Sangat terlihat sekali
bagaimana suamiku
memanjakanku. Dan aku
bahagia menikah dengannya. *** Lima tahun berlalu sudah
kami menjadi suami istri,
sangat tak terasa waktu
begitu cepat berjalan
walaupun kami hanya
hidup berdua saja karena sampai saat ini aku belum
bisa memberikannya
seorang malaikat kecil
(bayi) di tengah
keharmonisan rumah
tangga kami. Karena dia anak lelaki satu-
satunya dalam
keluarganya, jadi aku
harus berusaha untuk
mendapatkan penerus
generasi baginya. Alhamdulillah saat itu
suamiku mendukungku… Ia mengaggap Allah belum
mempercayai kami untuk
menjaga titipan-NYA. Tapi keluarganya mulai
resah. Dari awal kami
menikah, ibu & adiknya
tidak menyukaiku. Aku
sering mendapat perlakuan
yang tidak menyenangkan dari mereka, namun aku
selalu berusaha menutupi
hal itu dari suamiku… Didepan suami ku mereka
berlaku sangat baik
padaku, tapi dibelakang
suami ku, aku dihina-hina
oleh mereka… Pernah suatu ketika satu
tahun usia pernikahan
kami, suamiku mengalami
kecelakaan, mobilnya
hancur. Alhamdulillah suami
ku selamat dari maut yang hampir membuat ku
menjadi seorang janda itu. Ia dirawat dirumah sakit
pada saat dia belum
sadarkan diri setelah
kecelakaan. Aku selalu
menemaninya siang &
malam sambil kubacakan ayat-ayat suci Al – Qur’an.
Aku sibuk bolak-balik dari
rumah sakit dan dari
tempat aku melakukan
aktivitas sosial ku, aku
sibuk mengurus suamiku yang sakit karena
kecelakaan. Namun saat ketika aku
kembali ke rumah sakit
setelah dari rumah kami,
aku melihat di dalam
kamarnya ada ibu, adik-
adiknya dan teman-teman suamiku, dan disaat itu
juga.. aku melihat ada
seorang wanita yang
sangat akrab mengobrol
dengan ibu mertuaku.
Mereka tertawa menghibur suamiku. Alhamdulillah suamiku
ternyata sudah sadar, aku
menangis ketika melihat
suami ku sudah sadar, tapi
aku tak boleh sedih di
hadapannya. Kubuka pintu yang
tertutup rapat itu sambil
mengatakan,
“Assalammu’alaikum” dan
mereka menjawab salam
ku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka
semua melihatku. Suamiku
menatapku penuh manja,
mungkin ia kangen padaku
karena sudah 5 hari mata
nya selalu tertutup. Tangannya melambai,
mengisyaratkan aku untuk
memegang tangannya erat.
Setelah aku
menghampirinya, kucium
tangannya sambil berkata “Assalammu’alaikum”, ia
pun menjawab salam ku
dengan suaranya yg lirih
namun penuh dengan cinta.
Aku pun senyum melihat
wajahnya. Lalu.. Ibu nya berbicara
denganku … “Fis, kenalkan ini Desi
teman Fikri”. Aku teringat cerita dari
suamiku bahwa teman
baiknya pernah
mencintainya, perempuan
itu bernama Desi dan dia
sangat akrab dengan keluarga suamiku. Hingga
akhirnya aku bertemu
dengan orangnya juga.
Aku pun langsung berjabat
tangan dengannya, tak
banyak aku bicara di dalam ruangan tersebut,aku tak
mengerti apa yg mereka
bicarakan. Aku sibuk membersihkan &
mengobati luka-luka di
kepala suamiku, baru
sebentar aku
membersihkan mukanya,
tiba-tiba adik ipar ku yang bernama Dian mengajakku
keluar, ia minta ditemani ke
kantin. Dan suamiku pun
mengijinkannya. Kemudian
aku pun menemaninya. Tapi ketika di luar adik ipar
ku berkata, ”lebih baik kau
pulang saja, ada kami yg menjaga abang
disini. Kau istirahat saja. ” Anehnya, aku tak
diperbolehkan berpamitan
dengan suamiku dengan
alasan abang harus banyak
beristirahat dan karena
psikologisnya masih labil. Aku berdebat dengannya
mempertanyakan mengapa
aku tidak diizinkan
berpamitan dengan
suamiku. Tapi tiba-tiba ibu
mertuaku datang menghampiriku dan ia juga
mengatakan hal yang sama.
Nantinya dia akan memberi
alasan pada suamiku
mengapa aku pulang tak
berpamitan padanya, toh suamiku selalu menurut apa
kata ibunya, baik ibunya
salah ataupun tidak,
suamiku tetap saja
membenarkannya.
Akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit
itu dengan linangan air
mata. Sejak saat itu aku tidak
pernah diijinkan
menjenguk suamiku sampai
ia kembali dari rumah sakit.
Dan aku hanya bisa
menangis dalam kesendirianku. Menangis
mengapa mereka sangat
membenciku. *** Hari itu.. aku menangis
tanpa sebab, yang ada di
benakku aku takut
kehilangannya, aku takut
cintanya dibagi dengan
yang lain. Pagi itu, pada saat aku
membersihkan pekarangan
rumah kami, suamiku
memanggil ku ke taman
belakang, ia baru aja selesai
sarapan, ia mengajakku duduk di ayunan favorit
kami sambil melihat ikan-
ikan yang bertaburan di
kolam air mancur itu. Aku bertanya, ”Ada apa
kamu memanggilku?” Ia berkata, ”Besok aku
akan menjenguk
keluargaku di Sabang” Aku menjawab, ”Ia
sayang.. aku tahu, aku
sudah mengemasi barang-
barang kamu di travel bag
dan kamu sudah
memeegang tiket bukan?” “Ya tapi aku tak akan lama
disana, cuma 3 minggu aku
disana, aku juga sudah lama
tidak bertemu dengan
keluarga besarku sejak
kita menikah dan aku akan pulang dengan mama ku”,
jawabnya tegas. “Mengapa baru sekarang
bicara, aku pikir hanya
seminggu saja kamu
disana?“, tanya ku balik
kepadanya penuh dengan
rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru
memberitahukan rencana
kepulanggannya itu,
padahal aku telah bersusah
payah mencarikan tiket
pesawat untuknya. ”Mama minta aku yang
menemaninya saat pulang
nanti”, jawabnya tegas. ”Sekarang aku ingin
seharian dengan kamu
karena nanti kita 3 minggu
tidak bertemu, ya kan?”,
lanjut nya lagi sambil
memelukku dan mencium keningku. Hatiku sedih
dengan keputusannya, tapi
tak boleh aku tunjukkan
pada nya. Bahagianya aku dimanja
dengan suami yang penuh
dengan rasa sayang &
cintanya walau terkadang
ia bersikap kurang adil
terhadapku. Aku hanya bisa tersenyum
saja, padahal aku ingin
bersama suamiku, tapi
karena keluarganya tidak
menyukaiku hanya karena
mereka cemburu padaku karena suamiku sangat
sayang padaku. Kemudian aku
memutuskan agar ia saja yg
pergi dan kami juga harus
berhemat dalam
pengeluaran anggaran
rumah tangga kami. Karena ini acara sakral bagi
keluarganya, jadi seluruh
keluarganya harus komplit.
Walaupun begitu, aku pun
tetap tak akan
diperdulikan oleh keluarganya harus datang
ataupun tidak. Tidak hadir
justru membuat mereka
sangat senang dan aku pun
tak mau membuat riuh
keluarga ini. Malam sebelum
kepergiannya, aku
menangis sambil
membereskan keperluan
yang akan dibawanya ke
Sabang, ia menatapku dan menghapus airmata yang
jatuh dipipiku, lalu aku
peluk erat dirinya. Hati ini
bergumam tak merelakan
dia pergi seakan terjadi
sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku
hanya bisa menangis
karena akan ditinggal pergi
olehnya. Aku tidak pernah ditinggal
pergi selama ini, karena
kami selalu bersama-sama
kemana pun ia pergi. Apa mungkin aku sedih
karena aku sendirian dan
tidak memiliki teman,
karena biasanya hanya
pembantu sajalah teman
mengobrolku. Hati ini sedih akan di tinggal
pergi olehnya. Sampai keesokan harinya,
aku terus menangis..
menangisi kepergiannya.
Aku tak tahu mengapa
sesedih ini, perasaanku tak
enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku
harus percaya apada
suamiku. Dia pasti akan
selalu menelponku. *** Berjauhan dengan suamiku,
aku merasa sangat tidak
nyaman, aku merasa
sendiri. Untunglah aku
mempunyai kesibukan
sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak terlalu
kesepian ditinggal pergi ke
Sabang. Saat kami berhubungan
jarak jauh, komunikasi
kami memburuk dan aku
pun jatuh sakit. Rahimku
terasa sakit sekali seperti di
lilit oleh tali. Tak tahan aku menahan rasa sakit
dirahimku ini, sampai-
sampai aku mengalami
pendarahan. Aku dilarikan
ke rumah sakit oleh adik
laki-lakiku yang kebetulan menemaniku disana. Dokter
memvonis aku terkena
kanker mulut rahim
stadium 3. Aku menangis.. apa yang
bisa aku banggakan lagi.. Mertuaku akan semakin
menghinaku, suamiku yang
malang yang selalu
berharap akan punya
keturunan dari rahimku..
namun aku tak bisa memberikannya
keturunan. Dan kemudian
aku hanya bisa memeluk
adikku. Aku kangen pada suamiku,
aku selalu menunggu ia
pulang dan bertanya-tanya,
“kapankah ia segera
pulang?” aku tak tahu.. Sementara suamiku disana,
aku tidak tahu mengapa ia
selalu marah-marah jika
menelponku. Bagaimana
aku akan menceritakan
kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku.. Lebih baik aku tutupi dulu
tetang hal ini dan aku juga
tak mau membuatnya
khawatir selama ia berada
di Sabang. Lebih baik nanti saja ketika
ia sudah pulang dari
Sabang, aku akan cerita
padanya. Setiap hari aku
menanti suamiku pulang,
hari demi hari aku hitung… Sudah 3 minggu suamiku di
Sabang, malam itu ketika
aku sedang melihat foto-
foto kami, ponselku
berbunyi menandakan ada
sms yang masuk. Kubuka di inbox ponselku,
ternyata dari suamiku yang
sms. Ia menulis, “aku sudah beli
tiket untuk pulang, aku
pulangnya satu hari lagi,
aku akan kabarin lagi”. Hanya itu saja yang
diinfokannya. Aku ingin
marah, tapi aku pendam
saja ego yang tidak baik ini.
Hari yg aku tunggu pun
tiba, aku menantinya di rumah. Sebagai seorang istri, aku
pun berdandan yang cantik
dan memakai parfum
kesukaannya untuk
menyambut suamiku
pulang, dan nantinya aku juga akan menyelesaikan
masalah komunikasi kami
yg buruk akhir-akhir ini. Bel pun berbunyi,
kubukakan pintu
untuknya dan ia pun
mengucap salam. Sebelum
masuk, aku pegang
tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, aku
membungkuk untuk
melepaskan sepatu, kaos
kaki dan kucuci kedua
kakinya, aku tak mau ada
syaithan yang masuk ke dalam rumah kami. Setelah itu akupun berdiri
langsung mencium
tangannya tapi apa
reaksinya.. Masya Allah.. ia tidak
mencium keningku, ia
hanya diam dan langsung
naik keruangan atas,
kemudian mandi dan tidur
tanpa bertanya kabarku.. Aku hanya berpikir,
mungkin dia capek. Aku
pun segera merapikan
bawaan nya sampai aku
pun tertidur. Malam
menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada
tempat mengadu yaitu
Allah, Sang Maha Pencipta. Biasa nya kami selalu
berjama’ah, tapi karena
melihat nya tidur sangat
pulas, aku tak tega
membangunkannya. Aku
hanya mengeelus wajahnya dan aku cium keningnya,
lalu aku sholat tahajud 8
rakaat plus witir 3 raka’at. *** Aku mendengar suara
mobilnya, aku terbangun
lalu aku melihat dirinya dari
balkon kamar kami yang
bersiap-siap untuk pergi.
Lalu aku memanggilnya tapi ia tak mendengar.
Kemudian aku ambil
jilbabku dan aku berlari
dari atas ke bawah tanpa
memperdulikan darah yg
bercecer dari rahimku untuk mengejarnya tapi ia
begitu cepat pergi. Aku merasa ada yang aneh
dengan suamiku. Ada apa
dengan suamiku? Mengapa
ia bersikap tidak biasa
terhadapku? Aku tidak bisa diam begitu
saja, firasatku mengatakan
ada sesuatu. Saat itu juga
aku langsung menelpon
kerumah mertuakudan
kebetulan Dian yang mengangkat telponnya,
aku bercerita dan aku
bertanya apa yang sedang
terjadi dengan suamiku.
Dengan enteng ia
menjawab, “Loe pikir aja sendiri!!!”. Telpon pun
langsung terputus. Ada apa ini? Tanya hatiku
penuh dalam kecemasan.
Mengapa suamiku berubah
setelah ia kembali dari kota
kelahirannya. Mengapa ia
tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan aku. Semakin hari ia menjadi
orang yang pendiam,
seakan ia telah melepas
tanggung jawabnya
sebagai seorang suami.
Kami hanya berbicara seperlunya saja, aku selalu
diintrogasinya. Selalu
bertanya aku dari mana
dan mengapa pulang
terlambat dan ia bertanya
dengan nada yg keras. Suamiku telah berubah. Bahkan yang membuat ku
kaget, aku pernah
dituduhnya berzina dengan
mantan pacarku. Ingin
rasanya aku menampar
suamiku yang telah menuduhku serendah itu,
tapi aku selalu ingat..
sebagaimana pun salahnya
seorang suami, status suami
tetap di atas para istri, itu
pedoman yang aku pegang. Aku hanya berdo’a semoga
suamiku sadar akan
prilakunya. *** Dua tahun berlalu, suamiku
tak kunjung berubah juga.
Aku menangis setiap
malam, lelah menanti seperti
ini, kami seperti orang asing
yang baru saja berkenalan. Kemesraan yang kami
ciptakan dulu telah sirna.
Walaupun kondisinya tetap
seperti itu, aku tetap
merawatnya & menyiakan
segala yang ia perlukan. Penyakitkupun masih aku
simpan dengan baik dan
sekalipun ia tak pernah
bertanya perihal obat apa
yang aku minum.
Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun
telah aku pendam. Aku tak
tahu kapan ini semua akan
berakhir. Bersyukurlah.. aku punya
penghasilan sendiri dari
aktifitasku sebagai seorang
guru ngaji, jadi aku tak
perlu meminta uang
padanya hanya untuk pengobatan kankerku.
Aku pun hanya berobat
semampuku. Sungguh.. suami yang dulu
aku puja dan aku
banggakan, sekarang telah
menjadi orang asing
bagiku, setiap aku
bertanya ia selalu menyuruhku untuk
berpikir sendiri. Tiba-tiba
saja malam itu setelah
makan malam usai, suamiku
memanggilku. “Ya, ada apa Yah!” sahutku
dengan memanggil nama
kesayangannya “Ayah”. “Lusa kita siap-siap ke
Sabang ya.” Jawabnya
tegas. “Ada apa? Mengapa?”,
sahutku penuh dengan
keheranan. Astaghfirullah.. suami ku
yang dulu lembut tiba-tiba
saja menjadi kasar, dia
membentakku. Sehingga
tak ada lagi kelanjutan
diskusi antara kami. Dia mengatakan ”Kau ikut
saja jangan banyak
tanya!!” Lalu aku pun bersegera
mengemasi barang-barang
yang akan dibawa ke
Sabang sambil menangis,
sedih karena suamiku kini
tak ku kenal lagi. Dua tahun pacaran, lima
tahun kami menikah dan
sudah 2 tahun pula ia
menjadi orang asing
buatku. Ku lihat kamar
kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto
pernikahan kami, sekarang
menjadi dingin.. sangat
dingin dari batu es. Aku
menangis dengan
kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak
berteriak, tapi aku tak bisa. Suamiku tak suka dengan
wanita yang kasar,
ngomong dengan nada
tinggi, suka membanting
barang-barang. Dia bilang
perbuatan itu menunjukkan sikap
ketidakhormatan
kepadanya. Aku hanya bisa
bersabar menantinya bicara
dan sabar mengobati
penyakitku ini, dalam kesendirianku.. *** Kami telah sampai di
Sabang, aku masih merasa
lelah karena semalaman
aku tidak tidur karena
terus berpikir. Keluarga
besarnya juga telah berkumpul disana,
termasuk ibu & adik-
adiknya. Aku tidak tahu
ada acara apa ini.. Aku dan suamiku pun
masuk ke kamar kami.
Suamiku tak betah didalam
kamar tua itu, ia pun
langsung keluar bergabung
dengan keluarga besarnya. Baru saja aku membongkar
koper kami dan ingin
memasukkannya ke dalam
lemari tua yg berada di
dekat pintu kamar, lemari
tua yang telah ada sebelum suamiku lahir tiba-tiba
Tante Lia, tante yang sangat
baik padaku memanggil ku
untuk bersegera
berkumpul diruang tengah,
aku pun menuju ke ruang keluarga yang berada
ditengah rumah besar itu,
yang tampak seperti rumah
zaman peninggalan
belanda. Kemudian aku duduk
disamping suamiku, dan
suamiku menunduk penuh
dengan kebisuan, aku tak
berani bertanya padanya. Tiba-tiba saja neneknya,
orang yang dianggap
paling tua dan paling
berhak atas semuanya,
membuka pembicaraan. “Baiklah, karena kalian
telah berkumpul, nenek
ingin bicara dengan kau
Fisha”. Neneknya berbicara
sangat tegas, dengan sorot
mata yang tajam. ”Ada apa ya Nek?” sahutku
dengan penuh tanya.. Nenek pun menjawab,
“Kau telah bergabung
dengan keluarga kami
hampir 8 tahun, sampai saat
ini kami tak melihat tanda-
tanda kehamilan yang sempurna sebab selama ini
kau selalu keguguran!!“. Aku menangis.. untuk
inikah aku diundang
kemari? Untuk dihina
ataukah dipisahkan dengan
suamiku? “Sebenarnya kami sudah
punya calon untuk Fikri,
dari dulu.. sebelum kau
menikah dengannya. Tapi
Fikri anak yang keras
kepala, tak mau di atur,dan akhirnya menikahlah ia
dengan kau.” Neneknya
berbicara sangat lantang,
mungkin logat orang
Sabang seperti itu semua. Aku hanya bisa tersenyum
dan melihat wajah suamiku
yang kosong matanya. “Dan aku dengar dari ibu
mertuamu kau pun sudah
berkenalan dengannya”,
neneknya masih
melanjutkan pembicaraan
itu. Sedangkan suamiku hanya
terdiam saja, tapi aku lihat
air matanya. Ingin aku
peluk suamiku agar ia kuat
dengan semua ini, tapi aku
tak punya keberanian itu. Neneknya masih saja
berbicara panjang lebar
dan yang terakhir dari
ucapannya dengan mimik
wajah yang sangat
menantang kemudian berkata, “kau maunya
gimana? kau dimadu atau
diceraikan?“ MasyaAllah.. kuatkan hati
ini.. aku ingin jatuh pingsan.
Hati ini seakan remuk
mendengarnya, hancur
hatiku. Mengapa
keluarganya bersikap seperti ini terhadapku.. Aku selalu munutupi
masalah ini dari kedua
orang tuaku yang tinggal di
pulau kayu, mereka mengira aku
sangat bahagia 2 tahun
belakangan ini. “Fish, jawab!.” Dengan
tegas Ibunya langsung
memintaku untuk
menjawab. Aku langsung memegang
tangan suamiku. Dengan
tangan yang dingin dan
gemetar aku menjawab
dengan tegas. ”Walaupun aku tidak bisa
berdiskusi dulu dengan
imamku, tapi aku dapat
berdiskusi dengannya
melalui bathiniah, untuk
kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan
menyambut baik seorang
wanita baru dirumah kami.” Itu yang aku jawab,
dengan kata lain aku rela
cintaku dibagi. Dan pada
saat itu juga suamiku
memandangku dengan
tetesan air mata, tapi air mataku tak sedikit pun
menetes di hadapan
mereka. Aku lalu bertanya kepada
suamiku, “Ayah siapakah
yang akan menjadi
sahabatku dirumah kita
nanti, yah?” Suamiku menjawab, ”Dia
Desi!” Aku pun langsung menarik
napas dan langsung
berbicara, ”Kapan
pernikahannya
berlangsung? Apa yang
harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek?.” Ayah mertuaku menjawab,
“Pernikahannya 2 minggu
lagi.” ”Baiklah kalo begitu saya
akan menelpon pembantu
di rumah, untuk
menyuruhnya mengurus
KK kami ke kelurahan
besok”, setelah berbicara seperti itu aku permisi
untuk pamit ke kamar. Tak tahan lagi.. air mata ini
akan turun, aku berjalan
sangat cepat, aku buka
pintu kamar dan aku
langsung duduk di tempat
tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak kuat
rasanya menerima hal ini,
cintaku telah dibagi. Sakit.
Diiringi akutnya
penyakitku.. Apakah karena ini suamiku
menjadi orang yang asing
selama 2 tahun belakangan
ini? Aku berjalan menuju ke
meja rias, kubuka jilbabku,
aku bercermin sambil
bertanya-tanya, “sudah
tidak cantikkah aku ini?“ Ku ambil sisirku, aku
menyisiri rambutku yang
setiap hari rontok. Kulihat
wajahku, ternyata aku
memang sudah tidak cantik
lagi, rambutku sudah hampir habis.. kepalaku
sudah botak dibagian
tengahnya. Tiba-tiba pintu kamar ini
terbuka, ternyata suamiku
yang datang, ia berdiri
dibelakangku. Tak
kuhapus air mata ini, aku
bersegera memandangnya dari cermin meja rias itu. Kami diam sejenak, lalu aku
mulai pembicaraan, “terima
kasih ayah, kamu memberi
sahabat kepada ku. Jadi
aku tak perlu sedih lagi saat
ditinggal pergi kamu nanti! Iya kan?.” Suamiku mengangguk
sambil melihat kepalaku
tapi tak sedikitpun ia
tersenyum dan bertanya
kenapa rambutku rontok,
dia hanya mengatakan jangan salah memakai
shampo. Dalam hatiku bertanya,
“mengapa ia sangat cuek?”
dan ia sudah tak
memanjakanku lagi. Lalu
dia berkata, “sudah malam,
kita istirahat yuk!“ “Aku sholat isya dulu baru
aku tidur”, jawabku
tenang. Dalam sholat dan dalam
tidur aku menangis. Ku
hitung mundur waktu,
kapan aku akan berbagi
suami dengannya. Aku pun
ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku. Aku tak tahu kalau Desi
orang Sabang juga.
Sudahlah, ini mungkin
takdirku. Aku ingin
suamiku kembali seperti
dulu, yang sangat memanjakan aku atas rasa
sayang dan cintanya itu. *** Malam sebelum hari
pernikahan suamiku, aku
menulis curahan hatiku di
laptopku. Di laptop aku menulis saat-
saat terakhirku melihat
suamiku, aku marah pada
suamiku yang telah
menelantarkanku. Aku
menangis melihat suamiku yang sedang tidur pulas,
apa salahku? sampai ia
berlaku sekejam itu
kepadaku. Aku save di mydocument yang
bertitle “Aku Mencintaimu
Suamiku.” Hari pernikahan telah tiba,
aku telah siap, tapi aku tak
sanggup untuk keluar. Aku
berdiri didekat jendela, aku
melihat matahari, karena
mungkin saja aku takkan bisa melihat sinarnya lagi.
Aku berdiri sangat lama..
lalu suamiku yang telah siap
dengan pakaian
pengantinnya masuk dan
berbicara padaku. “Apakah kamu sudah
siap?” Kuhapus airmata yang
menetes diwajahku sambil
berkata : “Nanti jika ia telah sah jadi
istrimu, ketika kamu
membawa ia masuk
kedalam rumah ini, cucilah
kakinya sebagaimana
kamu mencuci kakiku dulu, lalu ketika kalian masuk ke
dalam kamar pengantin
bacakan do’a di ubun-
ubunnya sebagaimana
yang kamu lakukan
padaku dulu. Lalu setelah itu..”, perkataanku terhenti
karena tak sanggup aku
meneruskan pembicaraan
itu, aku ingin menagis
meledak. Tiba-tiba suamiku
menjawab “Lalu apa
Bunda?” Aku kaget mendengar kata
itu, yang tadinya aku
menunduk seketika aku
langsung menatapnya
dengan mata yang
berbinar-binar… “Bisa kamu ulangi apa yang
kamu ucapkan barusan?”,
pintaku tuk menyakini
bahwa kuping ini tidak
salah mendengar. Dia mengangguk dan
berkata, ”Baik bunda akan
ayah ulangi, lalu apa
bunda?”, sambil ia mengelus
wajah dan menghapus
airmataku, dia agak sedikit membungkuk karena dia
sangat tinggi, aku hanya
sedadanya saja. Dia tersenyum sambil
berkata, ”Kita liat saja nanti
ya!”. Dia memelukku dan
berkata, “bunda adalah
wanita yang paling kuat
yang ayah temui selain mama”. Kemudian ia mencium
keningku, aku langsung
memeluknya erat dan
berkata, “Ayah, apakah ini
akan segera berakhir?
Ayah kemana saja? Mengapa Ayah berubah?
Aku kangen sama Ayah?
Aku kangen belaian kasih
sayang Ayah? Aku kangen
dengan manjanya Ayah?
Aku kesepian Ayah? Dan satu hal lagi yang harus
Ayah tau, bahwa aku tidak
pernah berzinah! Dulu..
waktu awal kita pacaran,
aku memang belum bisa
melupakannya, setelah 4 bulan bersama Ayah baru
bisa aku terima, jika yang
dihadapanku itu adalah
lelaki yang aku cari. Bukan
berarti aku pernah berzina
Ayah.” Aku langsung bersujud di kakinya dan
muncium kaki imamku
sambil berkata, ”Aku minta
maaf Ayah, telah
membuatmu susah”. Saat itu juga, diangkatnya
badanku.. ia hanya
menangis. Ia memelukku sangat lama,
2 tahun aku menanti
dirinya kembali. Tiba-tiba
perutku sakit, ia menyadari
bahwa ada yang tidak
beres denganku dan ia bertanya, ”bunda baik-baik
saja kan?” tanyanya
dengan penuh khawatir. Aku pun menjawab, “bisa
memeluk dan melihat kamu
kembali seperti dulu itu
sudah mebuatku baik, Yah.
Aku hanya tak bisa bicara
sekarang“. Karena dia akan menikah. Aku tak mau
membuat dia khawatir. Dia
harus khusyu menjalani
acara prosesi akad nikah
tersebut. *** Setelah tiba dimasjid, ijab-
qabul pun dimulai. Aku
duduk diseberang suamiku. Aku melihat suamiku
duduk berdampingan
dengan perempuan itu,
membuat hati ini cemburu,
ingin berteriak
mengatakan, “Ayah jangan!!”, tapi aku ingat
akan kondisiku. Jantung ini berdebar
kencang saat mendengar
ijab-qabul tersebut. Begitu
ijab-qabul selesai, aku
menarik napas panjang.
Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku. Dalam hati
aku berusaha untuk
menguatkan hati ini. Ya…
aku kuat. Tak sanggup aku melihat
mereka duduk bersanding
dipelaminan. Orang-orang
yang hadir di acara resepsi
itu iba melihatku, mereka
melihatku dengan tatapan sangat aneh, mungkin
melihat wajahku yang
selalu tersenyum, tapi
dibalik itu.. hatiku
menangis. Sampai dirumah, suamiku
langsung masuk ke dalam
rumah begitu saja. Tak
mencuci kakinya. Aku
sangat heran dengan
perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan
pernikahan ini? Sementara itu Desi disambut
hangat di dalam keluarga
suamiku, tak seperti aku
dahulu, yang di musuhi. Malam ini aku tak bisa tidur,
bagaimana bisa? Suamiku
akan tidur dengan
perempuan yang sangat
aku cemburui. Aku tak
tahu apa yang sedang mereka lakukan didalam
sana. Sepertiga malam pada saat
aku ingin sholat lail aku
keluar untuk berwudhu,
lalu aku melihat ada lelaki
yang mirip suamiku tidur
disofa ruang tengah. Kudekati lalu kulihat. Masya
Allah.. suamiku tak tidur
dengan wanita itu, ia
ternyata tidur disofa, aku
duduk disofa itu sambil
menghelus wajahnya yang lelah, tiba-tiba ia memegang
tangan kiriku, tentu saja
aku kaget. “Kamu datang ke sini, aku
pun tahu”, ia berkata
seperti itu. Aku tersenyum
dan megajaknya sholat lail.
Setelah sholat lail ia berkata,
“maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu
menderita karena ego nya
aku. Besok kita pulang ke
Jakarta, biar Desi pulang
dengan mama, papa dan
juga adik-adikku” Aku menatapnya dengan
penuh keheranan. Tapi ia
langsung mengajakku
untuk istirahat. Saat tidur ia
memelukku sangat erat.
Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya
Allah.. apakah Engkau akan
menyuruh malaikat maut
untuk mengambil nyawaku
sekarang ini, karena aku
telah merasakan kehadirannya saat ini. Tapi..
masih bisakah engkau
ijinkan aku untuk
merasakan kehangatan
dari suamiku yang telah
hilang selama 2 tahun ini.. Suamiku berbisik, “Bunda
kok kurus?” Aku menangis dalam
kebisuan. Pelukannya
masih bisa aku rasakan. Aku pun berkata, “Ayah
kenapa tidak tidur dengan
Desi?” ”Aku kangen sama kamu
Bunda, aku tak mau
menyakitimu lagi. Kamu
sudah sering terluka oleh
sikapku yang egois.”
Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu. Lalu suamiku berkata, ”Bun,
ayah minta maaf telah
menelantarkan bunda..
Selama ayah di Sabang,
ayah dengar kalau bunda
tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti mengejar
sesuatu, seperti mengejar
harta ayah dan satu lagi..
ayah pernah melihat sms
bunda dengan mantan
pacar bunda dimana isinya kalau bunda gak mau
berbuat “seperti itu” dan
tulisan seperti itu diberi
tanda kutip (“seperti itu”).
Ayah ingin ngomong tapi
takut bunda tersinggung dan ayah berpikir kalau
bunda pernah tidur
dengannya sebelum bunda
bertemu ayah, terus ayah
dimarahi oleh keluarga
ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda” Hati ini sakit ketika difitnah
oleh suamiku, ketika tidak
ada kepercayaan di dirinya,
hanya karena omongan
keluarganya yang tidak
pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai
pasangan seumur hidupku
ini. Aku hanya menjawab,
“Aku sudah ceritakan itu
kan Yah. Aku tidak pernah
berzinah dan aku
mencintaimu setulus hatiku,
jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa aku
memilih kamu? Padahal
banyak lelaki yang lebih
mapan darimu waktu itu
Yah. Jika aku hanya
mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari
menangis karena menderita
mencintaimu.“ Entah aku harus bahagia
atau aku harus sedih
karena sahabatku
sendirian dikamar
pengantin itu. Malam itu,
aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku
dan berusaha
memaafkannya beserta
sikap keluarganya juga. Karena aku tak mau mati
dalam hati yang penuh
dengan rasa benci. *** Keesokan harinya… Ketika aku ingin terbangun
untuk mengambil wudhu,
kepalaku pusing, rahimku
sakit sekali.. aku mengalami
pendarahan dan suamiku
kaget bukan main, ia langsung menggendongku. Aku pun dilarikan ke
rumah sakit.. Dari kejauhan aku
mendengar suara zikir
suamiku.. Aku merasakan tanganku
basah.. Ketika kubuka mata ini,
kulihat wajah suamiku
penuh dengan rasa
kekhawatiran.saanku tak
enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku
harus percaya apada
suamiku. Dia pasti akan
selalu menelponku. *** Berjauhan dengan suamiku,
aku merasa sangat tidak
nyaman, aku merasa
sendiri. Untunglah aku
mempunyai kesibukan
sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak terlalu
kesepian ditinggal pergi ke
Sabang. Saat kami berhubungan
jarak jauh, komunikasi
kami memburuk dan aku
pun jatuh sakit. Rahimku
terasa sakit sekali seperti di
lilit oleh tali. Tak tahan aku menahan rasa sakit
dirahimku ini, sampai-
sampai aku mengalami
pendarahan. Aku dilarikan
ke rumah sakit oleh adik
laki-lakiku yang kebetulan menemaniku disana. Dokter
memvonis aku terkena
kanker mulut rahim
stadium 3. Aku menangis.. apa yang
bisa aku banggakan lagi.. Mertuaku akan semakin
menghinaku, suamiku yang
malang yang selalu
berharap akan punya
keturunan dari rahimku..
namun aku tak bisa memberikannya
keturunan. Dan kemudian
aku hanya bisa memeluk
adikku. Aku kangen pada suamiku,
aku selalu menunggu ia
pulang dan bertanya-tanya,
“kapankah ia segera
pulang?” aku tak tahu.. Sementara suamiku disana,
aku tidak tahu mengapa ia
selalu marah-marah jika
menelponku. Bagaimana
aku akan menceritakan
kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku.. Lebih baik aku tutupi dulu
tetang hal ini dan aku juga
tak mau membuatnya
khawatir selama ia berada
di Sabang. Lebih baik nanti saja ketika
ia sudah pulang dari
Sabang, aku akan cerita
padanya. Setiap hari aku
menanti suamiku pulang,
hari demi hari aku hitung… Sudah 3 minggu suamiku di
Sabang, malam itu ketika
aku sedang melihat foto-
foto kami, ponselku
berbunyi menandakan ada
sms yang masuk. Kubuka di inbox ponselku,
ternyata dari suamiku yang
sms. Ia menulis, “aku sudah beli
tiket untuk pulang, aku
pulangnya satu hari lagi,
aku akan kabarin lagi”. Hanya itu saja yang
diinfokannya. Aku ingin
marah, tapi aku pendam
saja ego yang tidak baik ini.
Hari yg aku tunggu pun
tiba, aku menantinya di rumah. Sebagai seorang istri, aku
pun berdandan yang cantik
dan memakai parfum
kesukaannya untuk
menyambut suamiku
pulang, dan nantinya aku juga akan menyelesaikan
masalah komunikasi kami
yg buruk akhir-akhir ini. Bel pun berbunyi,
kubukakan pintu
untuknya dan ia pun
mengucap salam. Sebelum
masuk, aku pegang
tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, aku
membungkuk untuk
melepaskan sepatu, kaos
kaki dan kucuci kedua
kakinya, aku tak mau ada
syaithan yang masuk ke dalam rumah kami. Setelah itu akupun berdiri
langsung mencium
tangannya tapi apa
reaksinya.. Masya Allah.. ia tidak
mencium keningku, ia
hanya diam dan langsung
naik keruangan atas,
kemudian mandi dan tidur
tanpa bertanya kabarku.. Aku hanya berpikir,
mungkin dia capek. Aku
pun segera merapikan
bawaan nya sampai aku
pun tertidur. Malam
menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada
tempat mengadu yaitu
Allah, Sang Maha Pencipta. Biasa nya kami selalu
berjama’ah, tapi karena
melihat nya tidur sangat
pulas, aku tak tega
membangunkannya. Aku
hanya mengeelus wajahnya dan aku cium keningnya,
lalu aku sholat tahajud 8
rakaat plus witir 3 raka’at. *** Aku mendengar suara
mobilnya, aku terbangun
lalu aku melihat dirinya dari
balkon kamar kami yang
bersiap-siap untuk pergi.
Lalu aku memanggilnya tapi ia tak mendengar.
Kemudian aku ambil
jilbabku dan aku berlari
dari atas ke bawah tanpa
memperdulikan darah yg
bercecer dari rahimku untuk mengejarnya tapi ia
begitu cepat pergi. Aku merasa ada yang aneh
dengan suamiku. Ada apa
dengan suamiku? Mengapa
ia bersikap tidak biasa
terhadapku? Aku tidak bisa diam begitu
saja, firasatku mengatakan
ada sesuatu. Saat itu juga
aku langsung menelpon
kerumah mertuakudan
kebetulan Dian yang mengangkat telponnya,
aku bercerita dan aku
bertanya apa yang sedang
terjadi dengan suamiku.
Dengan enteng ia
menjawab, “Loe pikir aja sendiri!!!”. Telpon pun
langsung terputus. Ada apa ini? Tanya hatiku
penuh dalam kecemasan.
Mengapa suamiku berubah
setelah ia kembali dari kota
kelahirannya. Mengapa ia
tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan aku. Semakin hari ia menjadi
orang yang pendiam,
seakan ia telah melepas
tanggung jawabnya
sebagai seorang suami.
Kami hanya berbicara seperlunya saja, aku selalu
diintrogasinya. Selalu
bertanya aku dari mana
dan mengapa pulang
terlambat dan ia bertanya
dengan nada yg keras. Suamiku telah berubah. Bahkan yang membuat ku
kaget, aku pernah
dituduhnya berzina dengan
mantan pacarku. Ingin
rasanya aku menampar
suamiku yang telah menuduhku serendah itu,
tapi aku selalu ingat..
sebagaimana pun salahnya
seorang suami, status suami
tetap di atas para istri, itu
pedoman yang aku pegang. Aku hanya berdo’a semoga
suamiku sadar akan
prilakunya. *** Dua tahun berlalu, suamiku
tak kunjung berubah juga.
Aku menangis setiap
malam, lelah menanti seperti
ini, kami seperti orang asing
yang baru saja berkenalan. Kemesraan yang kami
ciptakan dulu telah sirna.
Walaupun kondisinya tetap
seperti itu, aku tetap
merawatnya & menyiakan
segala yang ia perlukan. Penyakitkupun masih aku
simpan dengan baik dan
sekalipun ia tak pernah
bertanya perihal obat apa
yang aku minum.
Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun
telah aku pendam. Aku tak
tahu kapan ini semua akan
berakhir. Bersyukurlah.. aku punya
penghasilan sendiri dari
aktifitasku sebagai seorang
guru ngaji, jadi aku tak
perlu meminta uang
padanya hanya untuk pengobatan kankerku.
Aku pun hanya berobat
semampuku. Sungguh.. suami yang dulu
aku puja dan aku
banggakan, sekarang telah
menjadi orang asing
bagiku, setiap aku
bertanya ia selalu menyuruhku untuk
berpikir sendiri. Tiba-tiba
saja malam itu setelah
makan malam usai, suamiku
memanggilku. “Ya, ada apa Yah!” sahutku
dengan memanggil nama
kesayangannya “Ayah”. “Lusa kita siap-siap ke
Sabang ya.” Jawabnya
tegas. “Ada apa? Mengapa?”,
sahutku penuh dengan
keheranan. Astaghfirullah.. suami ku
yang dulu lembut tiba-tiba
saja menjadi kasar, dia
membentakku. Sehingga
tak ada lagi kelanjutan
diskusi antara kami. Dia mengatakan ”Kau ikut
saja jangan banyak
tanya!!” Lalu aku pun bersegera
mengemasi barang-barang
yang akan dibawa ke
Sabang sambil menangis,
sedih karena suamiku kini
tak ku kenal lagi. Dua tahun pacaran, lima
tahun kami menikah dan
sudah 2 tahun pula ia
menjadi orang asing
buatku. Ku lihat kamar
kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto
pernikahan kami, sekarang
menjadi dingin.. sangat
dingin dari batu es. Aku
menangis dengan
kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak
berteriak, tapi aku tak bisa. Suamiku tak suka dengan
wanita yang kasar,
ngomong dengan nada
tinggi, suka membanting
barang-barang. Dia bilang
perbuatan itu menunjukkan sikap
ketidakhormatan
kepadanya. Aku hanya bisa
bersabar menantinya bicara
dan sabar mengobati
penyakitku ini, dalam kesendirianku.. *** Kami telah sampai di
Sabang, aku masih merasa
lelah karena semalaman
aku tidak tidur karena
terus berpikir. Keluarga
besarnya juga telah berkumpul disana,
termasuk ibu & adik-
adiknya. Aku tidak tahu
ada acara apa ini.. Aku dan suamiku pun
masuk ke kamar kami.
Suamiku tak betah didalam
kamar tua itu, ia pun
langsung keluar bergabung
dengan keluarga besarnya. Baru saja aku membongkar
koper kami dan ingin
memasukkannya ke dalam
lemari tua yg berada di
dekat pintu kamar, lemari
tua yang telah ada sebelum suamiku lahir tiba-tiba
Tante Lia, tante yang sangat
baik padaku memanggil ku
untuk bersegera
berkumpul diruang tengah,
aku pun menuju ke ruang keluarga yang berada
ditengah rumah besar itu,
yang tampak seperti rumah
zaman peninggalan
belanda. Kemudian aku duduk
disamping suamiku, dan
suamiku menunduk penuh
dengan kebisuan, aku tak
berani bertanya padanya. Tiba-tiba saja neneknya,
orang yang dianggap
paling tua dan paling
berhak atas semuanya,
membuka pembicaraan. “Baiklah, karena kalian
telah berkumpul, nenek
ingin bicara dengan kau
Fisha”. Neneknya berbicara
sangat tegas, dengan sorot
mata yang tajam. ”Ada apa ya Nek?” sahutku
dengan penuh tanya.. Nenek pun menjawab,
“Kau telah bergabung
dengan keluarga kami
hampir 8 tahun, sampai saat
ini kami tak melihat tanda-
tanda kehamilan yang sempurna sebab selama ini
kau selalu keguguran!!“. Aku menangis.. untuk
inikah aku diundang
kemari? Untuk dihina
ataukah dipisahkan dengan
suamiku? “Sebenarnya kami sudah
punya calon untuk Fikri,
dari dulu.. sebelum kau
menikah dengannya. Tapi
Fikri anak yang keras
kepala, tak mau di atur,dan akhirnya menikahlah ia
dengan kau.” Neneknya
berbicara sangat lantang,
mungkin logat orang
Sabang seperti itu semua. Aku hanya bisa tersenyum
dan melihat wajah suamiku
yang kosong matanya. “Dan aku dengar dari ibu
mertuamu kau pun sudah
berkenalan dengannya”,
neneknya masih
melanjutkan pembicaraan
itu. Sedangkan suamiku hanya
terdiam saja, tapi aku lihat
air matanya. Ingin aku
peluk suamiku agar ia kuat
dengan semua ini, tapi aku
tak punya keberanian itu. Neneknya masih saja
berbicara panjang lebar
dan yang terakhir dari
ucapannya dengan mimik
wajah yang sangat
menantang kemudian berkata, “kau maunya
gimana? kau dimadu atau
diceraikan?“ MasyaAllah.. kuatkan hati
ini.. aku ingin jatuh pingsan.
Hati ini seakan remuk
mendengarnya, hancur
hatiku. Mengapa
keluarganya bersikap seperti ini terhadapku.. Aku selalu munutupi
masalah ini dari kedua
orang tuaku yang tinggal di
pulau kayu, mereka mengira aku
sangat bahagia 2 tahun
belakangan ini. “Fish, jawab!.” Dengan
tegas Ibunya langsung
memintaku untuk
menjawab. Aku langsung memegang
tangan suamiku. Dengan
tangan yang dingin dan
gemetar aku menjawab
dengan tegas. ”Walaupun aku tidak bisa
berdiskusi dulu dengan
imamku, tapi aku dapat
berdiskusi dengannya
melalui bathiniah, untuk
kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan
menyambut baik seorang
wanita baru dirumah kami.” Itu yang aku jawab,
dengan kata lain aku rela
cintaku dibagi. Dan pada
saat itu juga suamiku
memandangku dengan
tetesan air mata, tapi air mataku tak sedikit pun
menetes di hadapan
mereka. Aku lalu bertanya kepada
suamiku, “Ayah siapakah
yang akan menjadi
sahabatku dirumah kita
nanti, yah?” Suamiku menjawab, ”Dia
Desi!” Aku pun langsung menarik
napas dan langsung
berbicara, ”Kapan
pernikahannya
berlangsung? Apa yang
harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek?.” Ayah mertuaku menjawab,
“Pernikahannya 2 minggu
lagi.” ”Baiklah kalo begitu saya
akan menelpon pembantu
di rumah, untuk
menyuruhnya mengurus
KK kami ke kelurahan
besok”, setelah berbicara seperti itu aku permisi
untuk pamit ke kamar. Tak tahan lagi.. air mata ini
akan turun, aku berjalan
sangat cepat, aku buka
pintu kamar dan aku
langsung duduk di tempat
tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak kuat
rasanya menerima hal ini,
cintaku telah dibagi. Sakit.
Diiringi akutnya
penyakitku.. Apakah karena ini suamiku
menjadi orang yang asing
selama 2 tahun belakangan
ini? Aku berjalan menuju ke
meja rias, kubuka jilbabku,
aku bercermin sambil
bertanya-tanya, “sudah
tidak cantikkah aku ini?“ Ku ambil sisirku, aku
menyisiri rambutku yang
setiap hari rontok. Kulihat
wajahku, ternyata aku
memang sudah tidak cantik
lagi, rambutku sudah hampir habis.. kepalaku
sudah botak dibagian
tengahnya. Tiba-tiba pintu kamar ini
terbuka, ternyata suamiku
yang datang, ia berdiri
dibelakangku. Tak
kuhapus air mata ini, aku
bersegera memandangnya dari cermin meja rias itu. Kami diam sejenak, lalu aku
mulai pembicaraan, “terima
kasih ayah, kamu memberi
sahabat kepada ku. Jadi
aku tak perlu sedih lagi saat
ditinggal pergi kamu nanti! Iya kan?.” Suamiku mengangguk
sambil melihat kepalaku
tapi tak sedikitpun ia
tersenyum dan bertanya
kenapa rambutku rontok,
dia hanya mengatakan jangan salah memakai
shampo. Dalam hatiku bertanya,
“mengapa ia sangat cuek?”
dan ia sudah tak
memanjakanku lagi. Lalu
dia berkata, “sudah malam,
kita istirahat yuk!“ “Aku sholat isya dulu baru
aku tidur”, jawabku
tenang. Dalam sholat dan dalam
tidur aku menangis. Ku
hitung mundur waktu,
kapan aku akan berbagi
suami dengannya. Aku pun
ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku. Aku tak tahu kalau Desi
orang Sabang juga.
Sudahlah, ini mungkin
takdirku. Aku ingin
suamiku kembali seperti
dulu, yang sangat memanjakan aku atas rasa
sayang dan cintanya itu. *** Malam sebelum hari
pernikahan suamiku, aku
menulis curahan hatiku di
laptopku. Di laptop aku menulis saat-
saat terakhirku melihat
suamiku, aku marah pada
suamiku yang telah
menelantarkanku. Aku
menangis melihat suamiku yang sedang tidur pulas,
apa salahku? sampai ia
berlaku sekejam itu
kepadaku. Aku save di mydocument yang
bertitle “Aku Mencintaimu
Suamiku.” Hari pernikahan telah tiba,
aku telah siap, tapi aku tak
sanggup untuk keluar. Aku
berdiri didekat jendela, aku
melihat matahari, karena
mungkin saja aku takkan bisa melihat sinarnya lagi.
Aku berdiri sangat lama..
lalu suamiku yang telah siap
dengan pakaian
pengantinnya masuk dan
berbicara padaku. “Apakah kamu sudah
siap?” Kuhapus airmata yang
menetes diwajahku sambil
berkata : “Nanti jika ia telah sah jadi
istrimu, ketika kamu
membawa ia masuk
kedalam rumah ini, cucilah
kakinya sebagaimana
kamu mencuci kakiku dulu, lalu ketika kalian masuk ke
dalam kamar pengantin
bacakan do’a di ubun-
ubunnya sebagaimana
yang kamu lakukan
padaku dulu. Lalu setelah itu..”, perkataanku terhenti
karena tak sanggup aku
meneruskan pembicaraan
itu, aku ingin menagis
meledak. Tiba-tiba suamiku
menjawab “Lalu apa
Bunda?” Aku kaget mendengar kata
itu, yang tadinya aku
menunduk seketika aku
langsung menatapnya
dengan mata yang
berbinar-binar… “Bisa kamu ulangi apa yang
kamu ucapkan barusan?”,
pintaku tuk menyakini
bahwa kuping ini tidak
salah mendengar. Dia mengangguk dan
berkata, ”Baik bunda akan
ayah ulangi, lalu apa
bunda?”, sambil ia mengelus
wajah dan menghapus
airmataku, dia agak sedikit membungkuk karena dia
sangat tinggi, aku hanya
sedadanya saja. Dia tersenyum sambil
berkata, ”Kita liat saja nanti
ya!”. Dia memelukku dan
berkata, “bunda adalah
wanita yang paling kuat
yang ayah temui selain mama”. Kemudian ia mencium
keningku, aku langsung
memeluknya erat dan
berkata, “Ayah, apakah ini
akan segera berakhir?
Ayah kemana saja? Mengapa Ayah berubah?
Aku kangen sama Ayah?
Aku kangen belaian kasih
sayang Ayah? Aku kangen
dengan manjanya Ayah?
Aku kesepian Ayah? Dan satu hal lagi yang harus
Ayah tau, bahwa aku tidak
pernah berzinah! Dulu..
waktu awal kita pacaran,
aku memang belum bisa
melupakannya, setelah 4 bulan bersama Ayah baru
bisa aku terima, jika yang
dihadapanku itu adalah
lelaki yang aku cari. Bukan
berarti aku pernah berzina
Ayah.” Aku langsung bersujud di kakinya dan
muncium kaki imamku
sambil berkata, ”Aku minta
maaf Ayah, telah
membuatmu susah”. Saat itu juga, diangkatnya
badanku.. ia hanya
menangis. Ia memelukku sangat lama,
2 tahun aku menanti
dirinya kembali. Tiba-tiba
perutku sakit, ia menyadari
bahwa ada yang tidak
beres denganku dan ia bertanya, ”bunda baik-baik
saja kan?” tanyanya
dengan penuh khawatir. Aku pun menjawab, “bisa
memeluk dan melihat kamu
kembali seperti dulu itu
sudah mebuatku baik, Yah.
Aku hanya tak bisa bicara
sekarang“. Karena dia akan menikah. Aku tak mau
membuat dia khawatir. Dia
harus khusyu menjalani
acara prosesi akad nikah
tersebut. *** Setelah tiba dimasjid, ijab-
qabul pun dimulai. Aku
duduk diseberang suamiku. Aku melihat suamiku
duduk berdampingan
dengan perempuan itu,
membuat hati ini cemburu,
ingin berteriak
mengatakan, “Ayah jangan!!”, tapi aku ingat
akan kondisiku. Jantung ini berdebar
kencang saat mendengar
ijab-qabul tersebut. Begitu
ijab-qabul selesai, aku
menarik napas panjang.
Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku. Dalam hati
aku berusaha untuk
menguatkan hati ini. Ya…
aku kuat. Tak sanggup aku melihat
mereka duduk bersanding
dipelaminan. Orang-orang
yang hadir di acara resepsi
itu iba melihatku, mereka
melihatku dengan tatapan sangat aneh, mungkin
melihat wajahku yang
selalu tersenyum, tapi
dibalik itu.. hatiku
menangis. Sampai dirumah, suamiku
langsung masuk ke dalam
rumah begitu saja. Tak
mencuci kakinya. Aku
sangat heran dengan
perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan
pernikahan ini? Sementara itu Desi disambut
hangat di dalam keluarga
suamiku, tak seperti aku
dahulu, yang di musuhi. Malam ini aku tak bisa tidur,
bagaimana bisa? Suamiku
akan tidur dengan
perempuan yang sangat
aku cemburui. Aku tak
tahu apa yang sedang mereka lakukan didalam
sana. Sepertiga malam pada saat
aku ingin sholat lail aku
keluar untuk berwudhu,
lalu aku melihat ada lelaki
yang mirip suamiku tidur
disofa ruang tengah. Kudekati lalu kulihat. Masya
Allah.. suamiku tak tidur
dengan wanita itu, ia
ternyata tidur disofa, aku
duduk disofa itu sambil
menghelus wajahnya yang lelah, tiba-tiba ia memegang
tangan kiriku, tentu saja
aku kaget. “Kamu datang ke sini, aku
pun tahu”, ia berkata
seperti itu. Aku tersenyum
dan megajaknya sholat lail.
Setelah sholat lail ia berkata,
“maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu
menderita karena ego nya
aku. Besok kita pulang ke
Jakarta, biar Desi pulang
dengan mama, papa dan
juga adik-adikku” Aku menatapnya dengan
penuh keheranan. Tapi ia
langsung mengajakku
untuk istirahat. Saat tidur ia
memelukku sangat erat.
Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya
Allah.. apakah Engkau akan
menyuruh malaikat maut
untuk mengambil nyawaku
sekarang ini, karena aku
telah merasakan kehadirannya saat ini. Tapi..
masih bisakah engkau
ijinkan aku untuk
merasakan kehangatan
dari suamiku yang telah
hilang selama 2 tahun ini.. Suamiku berbisik, “Bunda
kok kurus?” Aku menangis dalam
kebisuan. Pelukannya
masih bisa aku rasakan. Aku pun berkata, “Ayah
kenapa tidak tidur dengan
Desi?” ”Aku kangen sama kamu
Bunda, aku tak mau
menyakitimu lagi. Kamu
sudah sering terluka oleh
sikapku yang egois.”
Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu. Lalu suamiku berkata, ”Bun,
ayah minta maaf telah
menelantarkan bunda..
Selama ayah di Sabang,
ayah dengar kalau bunda
tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti mengejar
sesuatu, seperti mengejar
harta ayah dan satu lagi..
ayah pernah melihat sms
bunda dengan mantan
pacar bunda dimana isinya kalau bunda gak mau
berbuat “seperti itu” dan
tulisan seperti itu diberi
tanda kutip (“seperti itu”).
Ayah ingin ngomong tapi
takut bunda tersinggung dan ayah berpikir kalau
bunda pernah tidur
dengannya sebelum bunda
bertemu ayah, terus ayah
dimarahi oleh keluarga
ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda” Hati ini sakit ketika difitnah
oleh suamiku, ketika tidak
ada kepercayaan di dirinya,
hanya karena omongan
keluarganya yang tidak
pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai
pasangan seumur hidupku
ini. Aku hanya menjawab,
“Aku sudah ceritakan itu
kan Yah. Aku tidak pernah
berzinah dan aku
mencintaimu setulus hatiku,
jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa aku
memilih kamu? Padahal
banyak lelaki yang lebih
mapan darimu waktu itu
Yah. Jika aku hanya
mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari
menangis karena menderita
mencintaimu.“ Entah aku harus bahagia
atau aku harus sedih
karena sahabatku
sendirian dikamar
pengantin itu. Malam itu,
aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku
dan berusaha
memaafkannya beserta
sikap keluarganya juga. Karena aku tak mau mati
dalam hati yang penuh
dengan rasa benci. *** Keesokan harinya… Ketika aku ingin terbangun
untuk mengambil wudhu,
kepalaku pusing, rahimku
sakit sekali.. aku mengalami
pendarahan dan suamiku
kaget bukan main, ia langsung menggendongku. Aku pun dilarikan ke
rumah sakit.. Dari kejauhan aku
mendengar suara zikir
suamiku.. Aku merasakan tanganku
basah.. Ketika kubuka mata ini,
kulihat wajah suamiku
penuh dengan rasa
kekhawatiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar