Melanjutkan perjuangan 41

Jokam Cyber Community [Berpengaruh Tidak Terpengaruh]

the best friendst

the best friendst
"Menampung Aspirasi, Menyampaikan Informasi, Menjalin Komunikasi, Mendekatkan Instituisi"

Minggu, 13 Desember 2009

Cerpen: Jodohku

JODOHKU

by: DR

Kurangkai kata-kata manis dan indah khusus untukmu seorang, kekasih hatiku. Bulan telah muncul dari peraduan, kutatap kertas putih dengan guratan tulisan di atasnya. Perasaan bimbang dan ragu menyelimuti batinku, haruskah kuberikan suratku ini padamu, kekasih hatiku. Aku selalu menyimpan rapat dirimu di dalam hatiku, kekasih hatiku. Sejak semester satu aku sudah memperhatikan dirimu, kekasih hatiku. Selama 20 tahun aku hidup di dunia ini, baru kali ini aku menyukai seorang pria, kaulah cinta pertamaku, kekasih hatiku.

Empat tahun aku memendam perasaan yang sungguh sangat berat kurasa. Masih kurang kah empat tahun untuk memahami perasaan yang tersembunyi dalam sanubariku, kekasih hatiku. Harus, pokoknya harus kunyatakan perasaan yang telah lama kupendam. Sahabat-sahabatku, setujukah kalian jika aku mengatakan perasaanku kepada kekasih hatiku. Kutelepon sahabat-sahabatku satu persatu, ternyata tak satu pun sahabatku yang setuju dengan niat baikku. Ali, sahabatku yang sudah kuanggap sebagai adikku sendiri menyatakan ketidaksetujuannya “ kau wanita, janganlah mengemis cinta pada seorang pria”. Ku tutup teleponku, hatiku bagai teriris sembilu. Sahabatku, aku tidak mengemis, aku cuma mau bilang “aku suka”, salahkan jika seorang wanita mengungkapkan perasaannya pada seorang pria. Ku telepon sahabatku yang paling dewasa menurutku. “Put, aku ingin mengatakan semua perasaanku pada kekasih hatiku, gimana menurutmu?” Puput sahabat yang ku anggap paling mengerti aku, malah menciutkan niatku tulusku.”Gila, kamu benar-benar sudah gila, di mana harga dirimu?” Kututup teleponku, sakit hati ini mendengar jawaban dari sahabat-sahabat yang kuanggap telah mengerti diriku. Harga diri, hancurkah harga diriku bila kukatakan perasaanku pada kekasih hatiku. Bimbang dan ragu terus berkecamuk di dalam batinku.

Kuingat kejadian tahun lalu, dengan malu-malu kuberikan bintang berwarna biru kepada kekasih hatiku. Senyummu mengembang teriring ucapan terima kasih terlontar dari bibirmu. Tanggal empat, ya saat itu tanggal empat Desember hari Sabtu saat upacara wisudamu, kekasih hatiku. Kunantikan dirimu di depan pintu auditorium, begitu melihat dirimu, kekasih hatiku, tubuhku kaku karena seorang wanita telah menyambutmu dan memelukmu dengan penuh haru. Cantik paras wanita itu, kuperhatikan hidung dan mata wanita itu, mirip, benar-benar mirip denganmu, kekasih hatiku. Ibu, kau memanggilnya ibu. Oh ternyata dia ibumu, kekasih hatiku. Kutunggu, ya saat itu aku menunggu ibu melepaskan dirimu, kekasih hatiku. Kudekati kau setelah ibu melepaskanmu, langsung kuberikan bintang biru untukmu. Setelah itu kupikir kau akan tahu perasaanku padamu, kekasih hatiku. Ternyata, hampir satu tahun aku menunggumu, tak satu pun kata suka terlontar dari mulutmu kepadaku, kekasih hatiku. Lama sudah aku menunggu hingga hampir usai kuliahku.

Bulan depan aku wisuda, tentu saja setelah wisuda aku akan kembali ke kampung halamanku. Haruskah perasaan yang terpendam selama empat tahun ini kubawa tanpa jawaban darimu, kekasih hatiku. Bimbang dan ragu terus berkecamuk di dalam batinku, kusimpan atau kukeluarkan. Dua kata itu memenuhi pikiranku sehingga sulit untuk kupejamkan mata yang telah memandangmu sewaktu bersamamu, kekasih hatiku.

Telepon genggam yang telah menemaniku selama dua tahun membuyarkan lamunanku. Kuangkat teleponku, terdengar suara sahabat lamaku menyapaku. “Anti, aku tahu perasaanmu saat ini.” Aku kaget mendengar pernyataan sahabatku, dari mana dia tahu. “Anti, Puput baru aja telepon aku.” Aku diam mendengarkan setiap perkataan sahabat lamaku. Rasa bimbang dan ragu yang menyelimuti perasaanku memudar sedikit demi sedikit.. Anik, nama sahabat lamaku. Pengalaman hidupnya menumbuhkan keyakinan dalam diriku. Langkahku semakin pasti untuk menampak ke jalan mana aku harus melangkah.

Pagi yang cerah membuat kakiku semakin mantap untuk melangkah meninggalkan Surakarta tercinta menuju rumah orang tua memberikan kabar gembira, aku akan wisuda. Kubayangkan wajah bahagia orang tuaku, ya kebahagian orang tua yang telah berhasil memberi bekal ilmu kepada anaknya.

Tengiang perkataan sahabat lamaku, “An, jodoh di tangan Tuhan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar