Melanjutkan perjuangan 41
Minggu, 07 Juli 2013
Berlipat - lipat
Bagaimana menggerakkan sebuah batu raksasa yang beratnya satu ton, dan besarnya lebih besar dibanding kita? Kalau kita kuat macam Hercules, mudah, dorong saja. Tapi nyatanya, Hercules hanya kisah fiksi. Jadi kita perlu metode masuk akal. Gunakanlah pengungkit, cari kayu panjang, atau apapun, lantas cungkil batu tersebut. Akan lebih mudah.
Teori pengungkit ini banyak digunakan dalam ilmu teknik. Pun dalam ilmu ekonomi, para ekonom menyebut multiplier untuk urusan perbankan dan suku bunga bebas resiko. Juga dalam ilmu manajemen keuangan, analis menyebutnya multiplier juga untuk urusan rasio hutang dan modal sendiri.
Sebenarnya dalam hidup kita. Teori pengungkit ini ada di mana-mana.
Ketika kita meminjamkan sebuah pulpen ke teman, saat ujian berlangsung, kita seolah hanya meminjamkan pulpen saja, bukan? Nyatanya tidak, berlipat-lipat kebaikan datang setelahnya. Teman kita lulus, teman kita bekerja, dsbgnya. Lebay? Hanya pulpen? Tidak.
Apalagi saat kita membantu mempermudah urusan orang lain. Memudahkan surat menyurat, misalnya. Kebahagiaan orang yang kita bantu, tidak sekadar hanya karena dia memperoleh surat menyurat atau ijin tersebut, lebih besar dibanding itu. Saat kita menyekolahkan orang lain, mengirimkan makanan, apa saja, berlipat-lipat kebaikan lain datang menyusul. Tidak terbayangkan hingga kemana gaungnya.
Sayangnya, dimana-mana, teori pengungkit ini juga berlaku sebaliknya.
Ketika kita korup waktu, menunda-nunda mengerjakan urusan orang lain, apakah kita pikir hanya sebatas itu saja kerusakan yang kita buat? Tidak. Saat kita menyuap untuk masuk pekerjaan tertentu, apakah hanya itu saja kerusakan yg terlihat? Tidak, my dear anggota page. Orang yang seharusnya segera memperoleh haknya jadi tertunda, dia yang seharusnya bisa menafkahi keluarganya jadi batal. Rentetan kerusakan menyusul panjang di belakangnya. Lantas, apakah kita berani menghadapi fakta tersebut saat dibuka kelak di hari semuanya pasti dibuka?
Pikirkanlah teori pengungkit ini. Selalu cemas kita melakukan dosa, khawatir kita telah merusak, itu amat berguna untuk membuat kita terus menjaga diri. Toh, pada dasarnya, hidup kita ini memang hanya memiliki dua hal saja: terus merasa cemas atas keburukan kita, paralel dengan terus berharap kasih sayang dari yang maha kuasa. Hilang salah-satunya, maka tidak ada lagi keseimbangan, apalagi jika hilang dua-duanya. Rusak sudahlah pemahaman sebagai hamba.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar